Monday, October 09, 2006

Lingga

Assalamu alaikum

LINGGA

Dibuat oleh : Rdayt

o0O0o

Lingga. Dia adalah temanku. Teman baik bahkan. Yach, setidak-tidaknya dulu kami pernah akrab. Hari ini aku sedang berkunjung ke rumahnya. Kedatanganku saat ini bukan untuk bermain ataupun untuk bersuka cita, melainkan untuk menyaksikan temanku yang satu ini mengalami sakratul maut.

Tubuhnya yang kurus kering dan pipinya yang cekung seolah memancarkan raut kesulitan yang mendalam dalam menghadapi kematian. Kulihat orang tuanya dan beberapa saudara menunggui dia dengan mata memerah karena terlalu sering air mata tumpah menyaksikan kejadian memilukan ini.

Temanku sedang berjuang menghadapi Izroil. Prihatin. Karena teringat olehku peristiwa-peristiwa yang sempat kuketahui tentang Lingga.

o0O0o

“Udah ling… bakar aja duluan.” Aaach… seperti biasa, tradisi remaja-remaja yang mengklaim dirinya “anak gaul” di Jakarta. Selalu akrab dengan narkoba. Sekali mencoba… akan ketagihan dan itu sama saja dengan membeli tiket mati untuk dirinya sendiri. Seperti halnya Lingga, sebenarnya dia itu anak baik, alim, rajin sholat, pandai mengaji dan seabrek kebaikan melekat pada dirinya.

Tapi semenjak ia berteman dengan Jody, hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat. Kini orang-orang tidak lagi mengenal seorang Lingga yang mempunyai predikat sangat baik di tempat tinggalnya. Hidupnya kini begitu melekat dengan narkoba. Mulai dari minuman-minuman beralkohol, ganja, shabu-shabu bahkan narkotik tingkat tinggi selalu menyertai kemanapun dia pergi.

Dan saat ini Lingga dan Jody sedang duduk di dalam kamar sambil menikmati lintingan ganja dan beberapa botol minuman yang salah satunya bertuliskan “Black Label”. Ukuran kamarnya yang tidak begitu besar membuat ruangan tersebut terasa semakin sumpek saja ketika asap rokok bercampur asap ganja memenuhi ruangan.

“Mmmmhhh… nikmatnya…” ungkap Lingga setelah menarik dalam-dalam lintingan ganja menyala yang ada di tangannya. Keduanya menghisap bergantian sambil diselingi dengan meneguk minuman keras yang memang sengaja mereka siapkan. Tidak jarang pula mereka tertawa-tawa setelah efek dari “barang” yang mereka pakai mulai bekerja.

Yach begitulah Lingga. Aku juga temannya. Tapi aku tak punya kuasa apa-apa untuk mengembalikan dia ke dunia yang dulu sempat ia geluti. Menjadi remaja mesjid. Hubungan kami sudah tidak seakrab dulu seperti ketika kami dan beberapa teman yang lain membuat acara persiapan Maulid Nabi, Shalat Idhul Fitri dan Idhul Adha, Isra Mi’raj dan banyak lagi hal positif yang pernah kami kerjakan bersama. Dari kegiatan-kegiatan itulah aku mulai akrab dengannya dan mengetahui kalau Lingga mempunyai potensi yang sangat besar untuk menjadi seorang mubaligh.

Belakangan hari ini dia jatuh sakit. Orang-orang bilang komplikasi. Yaa…. Kebanyakan narkoba… Ini sudah jadi rahasia umum yang membuat orang tuanya harus menanggung malu karena acap kali mendapat cemoohan dari para tetangga.

o0O0o

Dan hari ini masih dapat kusaksikan dadanya terus mengembang dan mengempis untuk menghembuskan nafas yang makin lama makin melemah. Lemah sekali. Seperti lemahnya iman yang ada dalam dirinya dalam menjalankan keislaman beberapa waktu sebelum dia jatuh sakit. Sakit yang dibuatnya sendiri. Memang benar, Tuhan tidak pernah sekalipun mengazab umatnya melainkan orang-orang yang mengazab dirinya sendiri. Hal itu sedang kusaksikan secara langsung di depan mataku. Dan pemerannya adalah sahabatku, Lingga.

Kuambil tempat kosong di ruangan yang biasa dijadikan shalat berjamaah di rumah itu. Aku pernah berjamaah dengan Lingga dulu. Beberapa kali. Ketika bersilaturahmi menjenguk ayahnya yang sedang sakit.

Dengan duduk bersila. Kupejamkan kedua mata ini. Kurasakan lelahnya angin dingin mengibaskan dirinya yang tak kasat mata menemaniku memanjatkan beberapa kalimat doa.

o0O0o

Tiba-tiba semua terasa hening. Sunyi. Tiada siapa-siapa melainkan kamparan luas yang terbentang tanpa batas. Semuanya putih. Kulihat Lingga samar-samar dalam pandangan yang agak kabur. Tapi masih dapat kukenali postur tubuhnya. Dia sedang duduk melamun. Lantas kuhampiri dengan hati yang ragu membuat kakiku terasa berat untuk melangkah ke arahnya.

Lingga masih termenung kendatipun aku sudah berada dihadapannya. Ia menyembunyikan wajahnya di antara kedua kakinya ditekuk simetris sementara kedua tangannya menyatu melingkari kedua kakinya yang terbalut kain putih. Seputih hamparan ini. Putihnya sama dengan kain yang melekat di tubuhku. Entah kemana pakaian-pakaian kami yang sebelumnya kami pakai. Walau begitu kain-kain ini begitu nyaman membalut tubuh. Damai. Hangat. Dan menyejukkan.

Masih kupandangi Lingga yang duduk tak bergeming di tempatnya. Terdengar suara mengucapkan salam dari sosok yang muncul di samping kami. Dia tersenyum padaku ketika kujawab salamnya lalu memalingkan wajahnya ke arah Lingga dan menanyakan sesuatu padanya.

“Assalamu alaikum wahai Lingga, sudah siapkah kau untuk pulang ke tempat asalmu? Tempat dimana seharusnya kau berada. Tempat yang kekal. Tempat dimana kau akan tinggal selama-lamanya didalamnya.” Lingga menengadahkan kepalanya. Wajahnya memerah. Ketakutan. Menangis. Matanya sembab sementara mulutnya tak kuasa untuk berkata-kata. Ia menoleh kearahku. Tatapannya sungguh menghujam ke ulu hati. Mengiris-iris jantung kehidupanku. Membuat darahku berdesir lebih cepat bagai kilat yang menyambar-nyambar diantara hujan lebat yang mengguyur bumi tak henti. Aku menangis. Sedih. Linggapun kembali menangis. Namun yang keluar adalah air mata darah yang mengalir deras dari pelupuk matanya, menodai putihnya kain yang ia kenakan. Kami terus menangis. Menangis dan menangis, sampai tak terasa kain yang dipakai Lingga sudah berubah warna menjadi merah. Semerah darah yang terus keluar tak habis-habisnya.

“Waktumu sudah habis wahai Lingga. Sekarang mari kita pulang.” Sosok itu kembali membuka suara memecah kebekuan diantara kami. “Salam kami wahai sahabat. Perkenankan kami untuk berlalu dari hadapanmu. Assalamu alaikum.”

Lidahku yang kelu sedari tadi dengan sendirinya meluncurkan balasan salam dari sosok tersebut. Entah secara sadar atau tidak sadar, aku menanyakan hal yang aku sendiri heran mendengarnya.

“Wahai sahabatku, bolehkah aku mengenalmu…??? Apakah kau Izroil si pencabut nyawa…???” Kedua sosok yang sudah berdiri membelakangiku itu berhenti berjalan. Lalu sosok yang kutanya berbalik arah kepadaku. Dia tersenyum.

“Ketahuilah olehmu sahabat. Tidaklah aku pernah mencabut nyawa manusia melainkan menjemputnya untuk kembali pulang ke tempat yang seharusnya.”

Aku tidak mampu berkata apa-apa mendengar jawabannya. Mereka kembali berlalu. Berlalu dan terus berlalu. Menjauh. Hilang dari pandangan. Dan tinggal aku disini ditemani angin dingin yang lelah menemani diriku.

o0O0o

Suara tangis memenuhi ruangan itu. Walau samar masih dapat kudengar jerit histeris dari para kerabat yang ikut menemani. Aku menghampiri dengan langkah gontai. Sahabatku kini terbujur lurus di hadapanku. Seluruh tubuhnya diselimuti kain panjang dari kaki sampai kepala. Ia telah pulang. Pulang ke tempat dimana ia memang harus kembali.

“Inna lillahi wa inna ilaihi roojiuun.”

Sesungguhnya dengan kekuasaan-Nya lah segala sesuatu diadakan, dan dengan kekuasaan-Nya pulalah ditiadakan.

Terima kasih atas semuanya, sahabatku. Kuharap kau tenang di alam sana. Pelajaran yang kau berikan pada kami, semoga dapat menjadi hikmah yang senantiasa membuat kami selalu berada dalam jalan yang benar lagi terang. Amiin.

Tamat.

Wassalam

No comments: