Monday, October 09, 2006

Cerbungku "Bagian-3"

ADA SEBUAH PURI DALAM HATIKU

(Bagian ketiga)

Dibuat oleh : Rdayt

Aku berusaha mengelak dari tuduhan Nisa. Maafkan aku putri. Sungguh aku begitu berat mengatakan ini. Karena disampingku sedang duduk seorang wanita yang senantiasa mengharapkan cinta sejati dariku. Hatiku begitu pedih. Perih. Bagai diiris-iris oleh sembilu. Didalam hatiku telah terbangun sebuah puri indah yang kurangkum dari pasir-pasir jiwa. Namun puri itu kini sudah porak poranda diterjang tornado kegelisahan yang datang mengguncang batinku. Apakah aku bisa kembali mengumpulkan puing-puingnya, agar aku bisa membangun kembali puri tersebut? Entah kenapa aku begitu lelah saat ini. Mataku seperti merasakan penderitaanku. Dan dia berusaha ingin memberikan yang terbaik untukku. Mataku tidak ingin aku terlalu lelah. Oh…aku terlelap. Sedikit kurasakan kedamaian dalam tidurku. Tidur yang mampu menghilangkan segala masalah yang mendera. Aku tak ingin bangun lagi. Biarkanlah aku tetap tertidur agar tiada lagi kurasakan kegalauan yang begitu menyiksa hati. Aku tidak ingin terjaga. Aku ingin terus tertidur…pulas… dan mimpi.

o0O0o

“Bangun juga akhirnya. Kirain ga bangun-bangun lagi. Kesian banget tuh ceweknya. Diajak kesini tapi malah ditinggal tidur.” Nisa tersenyum disampingku. Kucari-cari Marieta dengan pandangan masih sedikit kabur.

“Mana Marieta? Ya ampun bang Dendi ketiduran yach? Jam berapa sekarang?” Tanyaku sambil mengucek-ucek mata agar dapat melihat lebih jelas.

“Tuh diluar. Sekarang udah jam 3 tau ngga.”

“Uh gila, berarti tadi ketiduran sampe satu setengah jam yach.” Aku langsung bangkit dan berjalan ke tempat Marieta. Kulihat dia sedang termenung. Ada kesedihan terpancar dimatanya. Apakah dia merasakan apa yang sedang aku rasakan. Mungkin saja. Tapi aku berharap dia tidak mengetahuinya.

“Hei, maaf yach ketiduran. Lagi ngapain?” Aku duduk disampingnya.

“Ga lagi ngapa ngapain. Bete nich. Kita pulang aja yuk. Kayaknya ada yang mau aku omongin ama kamu.” Katanya. Ucapannya begitu serius sekali. Membuatku sedikit merasa bergetar.

“Kenapa ngga diomongin disini aja sich?”

“Aku nggak mau. Lebih baik dirumahku aja.”

“Ya udah. Tunggu yach aku cuci muka dulu.”

“Cepat sana.”

o0O0o

“Sekarang kita udah sampai rumah. Udah bilang mau ngomong apa sich, koq kayaknya misterius banget?” Tanyaku ambil menyandarkan punggung di sofa. Ukh, emang lelah kalo kelamaan di angkot.

“Kamu ga marah khan kalo aku ngomong?”

“Ya enggak lah… udah ngomong aja.” Kataku sedikit tidak sabar. “Den, kamu suka yach ama yang namanya Elina?” Pertanyaan Marieta begitu mengagetkanku. Kucoba untuk memperbaiki suasana hatiku. Dengan tersenyum. “Kenapa kamu bisa nanya kayak gitu sih? Nggak lucu tau. Kamu itu belum kenal ama Elina. Kalo kamu udah kenal ama dia, pasti kamu ga bakal berpikir kayak tadi. Elina itu udah aku anggap kayak ade sendiri lagi… kayak aku sama Nisa. Gak lebih. Kamu percaya yach. Ya udah nanti kalo ada waktu aku kenalin kamu sama Elina. Gimana, mau?”

“Terserah kamu deh. Lagipula aku percaya kamu koq.”

“Makasih yach udah percaya sama aku.” Kukecup keningnya lembut. Marieta menengadahkan wajahnya ke wajahku. Matanya terpejam. Kutahu ia menginginkan hal itu. Sesuatu yang dapat menentramkan jiwa sepasang kekasih. Sebuah ciuman.

o0O0o

Saat itu di sebuah pusat perbelanjaan yang sarat dengan pengunjung.

“Elina, tolong layanin pelanggan di kassa 3. Tolong yaaa…!!!”

“Huuu… ya udah lah. Mana, sini… di tangan Elina pasti semuanya beres.”

“Makasih yaaa… aku mau ke toilet dulu….”

“Ya udah sana….”

Sementara itu aku dan Marieta sedang berbelanja ditempat itu. Sengaja memang belanja disitu karena aku mengetahui dari Nisa kalau Elina bekerja di tempat itu. Selesai belanja aku sengaja antri di kassa yang dijaga Elina. Hehehe… lucu juga melihat dia kerja. Masih kecil koq udah bisa mencari uang. Wah, kayaknya dia belum sadar tuh kalau aku ada di dekatnya. Agak lama juga aku harus antri. Tapi walaupun begitu koq bisa bisanya Elina belum menyadari kehadiranku. Keqi juga. ;P Tiba-tiba Elina pergi begitu saja ketika giliranku sudah tiba.

“Hei mbak, koq malah pergi sih? Belanjaan saya belum dihitung….” Aku coba mengcomplain kejadian ini.

“Tunggu yach, saya mau ngambil kertas struknya dulu. Stocknya udah habis. Kalo nggak percaya liat aja sendiri.” Huh, dasar Elina ada aja alasannya. Dan bisa-bisanya dia begitu cuek menjawab complain dariku.

“Tolong dihitung cepat ya mbak.” Pintaku setelah Elina kembali dari mengambil kertas struk yang dibutuhkan.

“Semuanya tiga puluh empat ribu enam ratus rupiah.”

“Ini uangnya mbak.” Kataku sambil senyum-senyum sendiri. Gila juga nich anak, masih belum sadar juga dia. Padahal aku khan sedang ada didepannya. Tapi begitu Elina mencoba mengambil uang yang aku sodorkan, ia terkejut bukan main. Aku cuma senyum-senyum saja. Pura-pura tidak tau.

“Ya ampun…ngapain lo diri aja disitu? Koq nggak bilang-bilang sih kalo lo yang belanja.”

“Makanya kalo lagi ngelayanin orang jangan liat kebawah aja. Emangnya lagi nyari recehan yach yang barangkali ada yang jatuh?”

“Yeee…enak aja.” Seperti biasa senyum Elina selalu terkembang. Manis sekali. Oh putri, entah kenapa setiap kali mata ini melihatmu. Aku merasa seperti berada di dalam sebuah taman yang penuh dengan nuansa kebahagiaan. Aku serasa melayang…terbang…aku merasa seperti di awang-awang. Ditemani oleh jutaan kumbang menari. Berdansa dalam kegembiraan yang tiada tara. Oh putri, apakah kau juga merasakan kebahagiaan seperti yang aku rasakan ini?

“Hei, ama siapa kesini? Sendiri atau….?” “Berdua sama temen. Tuh orangnya” jawabku sambil menunjuk kearah Marieta yang sedari tadi berdiri menunggu diluar. Marieta segera menghampiriku ketika kupanggil.

“Ini yang namanya Elina, Ta? Lucu khan?”

“Cantik yach.” Kata Marieta.

“Oh iya Lin, lupa. Kenalin. Marieta?” Kataku buru-buru.

“Siapa nich? Pacar?” Ledek Elina.

“Temen.” Jawabku agak ragu-ragu.

“Aaaaahhh… temen apa temen? Pacar kali…???” Elina meledekku lagi.

“Temen koq. Bener. Cuma temen yang istimewa.” Tawa kami pun berderai.

o0O0o

Sepanjang perjalanan pulang Marieta tampak murung. Aaahhh, pasti dia memikirkan kejadian tadi. Dia memang sangat pencemburu. Susah juga sih pacaran sama wanita yang cemburuan. Tapi mau bagaimana lagi. nasi sudah menjadi bubur. Dan bubur itu kini sudah jadi bubur yang tidak enak rasanya.

“Tau nggak, aku masih mikirin kejadian tadi.” Marieta mulai membuka pembicaraan.

“Kejadian yang mana? Waktu ketemu Elina tadi?”

“Iya. Kamu cocok banget tau nggak ama dia. Seingatku selama kita pacaran, kita nggak pernah seakrab itu deh.”

“Kamu terlalu perasa ah.”

“Ini sungguhan, Den. Aku cemburu banget ngeliat kamu sama Elina.”

“Tapi khan aku dan dia cuma teman biasa.”

“Mungkin sekarang iya. Tapi bisa aja khan suatu saat kamu ninggalin aku karena dia.”

“Tuh khan… kamu makin nggak rasional ah. Elina itu udah punya pacar. Namanya Made. Khan kamu denger sendiri waktu Nisa ngasih tau. Masih inget khan?”

“Iya sih. Den, kamu mau nggak janji sama aku satu hal?”

“Janji apa?”

“Jangan pernah tinggalin aku yach. Please, jangan pernah tinggalin aku karena cewek lain termasuk sama Elina. Aku takuuut banget. Tanpa kamu, aku nggak tau harus ngapain. Kamu mau khan janji sama aku?” Aku tidak menjawab. Yang kutahu, aku hanya menatap mata Marieta dalam sekali. Kugenggam kedua tangannya. Kami masih terdiam. Aku terlalu takut untuk berjanji. Janji yang amat sulit untuk kutepati. Janji yang akan membuatku jauh dari putri yang sangat aku dambakan. Tidak. Aku tidak mau melepaskanmu, putri. Kau adalah penenang jiwaku dikala resah. Kau adalah impian yang menstimulasi setiap langkahku dalam menjalani hidup ini. Sungguh aku tidak mau kehilanganmu. Oleh karena itu., sekali lagi aku tidak ingin berjanji pada Marieta.

“Apa kamu udah nggak percaya sama aku? Apakah hubungan kita cuma sebatas rasa curiga dan ketakutan? Apakah aku begitu buruknya sehingga kamu meragukan aku?” Hanya pertanyaan-pertanyaan itu yang dapat aku berikan kepada Marieta.

“Aku percaya sama kamu Den. Tapi…”

“Kalo kamu emang percaya sama aku. Tolong nggak usah memikirkan hal-hal kayak tadi. Dan jangan dibahas lagi.” Kulihat Marieta sangat kecewa. Yach, buatku itu lebih baik. Daripada harus berjanji tentang hal yang tidak mungkin aku lakukan.

o0O0o

Semenjak kejadian itu hubunganku dan Marieta jadi tidak begitu nyaman. Kehangatan yang selalu tercipta kian sirna diterpa oleh hawa dingin yang menusuk. Sampai akhirnya kami pun putus dengan alasan yang sangat klasik. Tidak cocok dan juga karena Marieta mencoba mematahkan prinsip yang sudah aku jalani selama ini. Dia mengajakku menikah. Sedangkan aku masih mempunyai impian-impian yang ingin aku wujudkan. Aku tak peduli walaupun dunia mengatakan kalau aku ini seorang pemimpi. Biarlah, karena satu hal yang aku yakini, “Orang yang tidak punya impian adalah miskin.”

o0O0o

Setahun kemudian setelah musim dingin yang amat lama. Aku hampir membatu. Aku beku. Tak pernah sedetikpun sang mentari menyirami tubuhku dengan sinarnya yang hangat. Aku begitu kesepian dan kedinginan dalam lingkup yang begitu sempit. Sampai suatu saat aku merasakan, akhirnya mentari mengingatku. Kebekuan yang selama ini mendera sedikit demi sedikit mencair dan mengembalikan tubuhku dari jurang yang teramat dalam. Aku memang pernah jatuh. Jatuh kedalam lubang yang sangat gelap dan pengap. Angin membawa khabar indah tentang putri yang aku mimpikan selama ini. Elina.

o0O0o

Akhirnya putri itu tinggal sendiri dalam menara penantian. Tiba juga saat dimana seorang ksatria harus berlaga di medan perang dengan membawa pedang kebanggaan. Yach, aku memang seorang ksatria. Ksatria penjaga taman hati yang memiliki pedang cinta dan busur asmara. Dengan kereta kencana kutapaki jalan mendaki untuk menemukan keindahan seorang dewi. Aku ini adalah seorang pencinta. Aku bertahan hidup karena cintaku. Cinta yang menemani perjalanan jiwa dan waktu. Aku akan terbang mengikuti angin berhembus. Kukerahkan semua kekuatanku pada kedua sayapku. Oooh putri, bersabarlah. Aku akan datang untuk melepaskan dirimu dari belenggu tirani yang mengikat kedua kakimu dalam badai ketidak pastian. Pintaku padamu, tetaplah tersenyum dan tunggu aku di gerbang cintamu.

o0O0o

(Bersambung)

Insya Allah

No comments: