Tuesday, October 10, 2006

Cerbungku "Bagian-4"

ADA SEBUAH PURI DALAM HATIKU

(Bagian keempat)

Dibuat oleh : Rdayt


“Bang Dendi, lama banget sich nggak main kesini…???” Waduuuuuhhh… Nanda memang selalu begitu. Dia pasti merengek kalau aku datang. Yach, tidak jauh beda sich sama Nisa. Maklumlah, mereka khan memang kakak beradik.

“Ngomong-ngomong Elina pernah main kesini nggak, nda…???” Tanyaku sedikit berbisik. Takut. Kalau Nisa dengar, gimana…???

“Naaaahhhh… yaaach… Bang Dendi nanyain Kak Elina. Naksir yaach…???” Dengan sikap ceriwisnya Nanda langsung memvonisku.

“Oh my God, jangan kenceng-kenceng donk ngomongnya… khan malu.”

“Ya udah, kalo emang naksir.. ngomong aja lagi.”

“Emang kalo menurut Nanda, Bang Dendi pantes ngga, kalo pacaran sama Elina?”

“Pantes koq. Kalo emang keduanya sama-sama suka, yaaa pacaran aja.”

“Kalo sekarang, kira-kira Elina ada di rumah nggak yach…???”

“Paling ada. Coba aja main. Jangan takut nggak ada orangnya.”

“Iya adik kecil. Makasih atas sarannya yach.. Oh iya, nanti kalo Nisa datang, bilangin Bang Dendi lagi di rumah Elina. Kalo dia mau nyusul… nyusul aja.”

“Baik Kaaaak….” Kami berdua pun tersenyum.

o0O0o

Di depan pintu aku masih menunggu. Tadi ibunya Elina yang membukakan pintu ketika aku mengetuknya… Pandangan matanya seperti asing ketika melihatku. Tapi untunglah, beliau tidak banyak menginterogasiku dengan pertanyaan yang macam-macam. Begitu kukatakan bahwa aku ingin bertemu dengan Elina, beliau langsung memintaku menunggu dan kemudian masuk kedalam untuk memanggil Elina.

Tak lama dari balik pintu Elina muncul. Senyumnya merekah memamerkan gigi-ginya yang kecil-kecil namun tersusun dengan rapi melingkari gusi didalam rongga mulutnya. Rambutnya tidak berubah. Tetap sebahu dan tergerai. Hitam alami. Elina memang sangat cantik. Tak ada satupun wanita yang lebih cantik dari dirinya. Yaaa… itulah sekejap pengalaman pertamaku ke rumah Elina. Bedebar-debar namun penuh sensasi. Sensasi yang telah membuatku tetap bertahan hingga saat ini. Mengejarnya dan menggapainya.

o0O0o

Bis kota masih melaju kencang dan aku masih membayangkan kalau aku akan bertemu dengan Elina seperti dulu. Elina yang cantik, lucu dan menggemaskan. Aaaahhh… rasanya tak sabar aku untuk segera sampai. Kenangan bersama Elina dulu memang begitu indah. Yaaa… Indahnya melebihi apapun yang indah di bumi ini.

“Tunggu aku, lin. Aku datang kembali padamu. Ketahuilah, ruang yang dulu pernah terisi namamu sampai saat ini masih tetap aku jaga, karena aku yakin kita pasti akan bersama lagi. Seperti harapan kita dulu, walaupun aku hanya menduga-duga… aku yakin kau pun dulu juga mencintaiku, bahkan hingga saat ini. Dan aku sangat yakin sekali.” Aku membathin. Entah kenapa…???

o0O0o

Rumah itu masih seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Teras setinggi pinggang tempat kami dulu duduk sambil ngobrol dan bercanda-canda. Pilar kecil yang menyangga atap pendopo masih kokoh menancap di tengah-tengah lantai teras. Kursi bambu yang mengisi ruang ini masih berada di tempatnya seperti dulu dia diletakkan. Ooohh.. benar-benar tidak ada yang berubah. Aku merasa seperti kembali ke masa lalu. Yaaa… di rumah ini. Banyak kenangan indah didalamnya.

Kucoba ketuk pintu berwarna hijau yang tertutup dihadapanku. Agak ragu mulanya. Namun dengan sedikit dorongan semangat, akhirnya tangan kananku terayun dan menyentuh daun pintu hingga berbunyi, Tok… Tok.. Tok… Lantas kuikuti dengan ucapan salam, “Assalamu alaikum.”

Tidak ada jawaban. Sunyi. “Aaahhh… mungkin penghuni rumah ini sedang tidur. Aduuuhh.. gimana nih…??? Masak sich aku harus pulang dengan tangan hampa…” Bathinku mengeluhkan mengapa salamku tidak terjawab. Untunglah pada salam yang berikutnya terdengar jawaban. Meskipun lemah, aku masih bisa mendengarnya dan mengetahui siapa yang menjawab.

Tak berapa lama muncul seorang pria muda. Namanya Erlangga. Seumuran denganku. Dia kakak tertua Elina. Begitu melihat kedatanganku, pria itu langsung tersenyum. Menyapa.

“Oh… lo, Den. Apa kabar…??? Lama nggak kesini. Kemana aja..???”

“Eeeerr… nggak kemana-mana koq, Ga. Cuma di rumah aja. Wah.. kayaknya lo lagi tidur yaaaa…. Waduh, jadi nggak enak nih gue…”

“Santai aja laahhh… ga usah sungkan. Duduk, Den… jangan diri aja disitu, ntar jadi tinggi, lokh…” Erlangga menghampiri kursi bambu yang diletakkan menempel dengan tembok utama rumah dan duduk disana diikuti dengan aku yang segera menempati kursi bambu yang masih kosong sambil cengar-cengir mendengar perkataan Erlangga.

“Hahahaha… bisa aja lokh. Mentang-mentang kecil.” Hiks… aku tertawa dalam hati setelah mengucapkan itu. Memang benar juga sih… Elina dan kakaknya ini sama kecilnya. Kalo pernah denger tentang keluarga kecil, yaaa… mereka inilah contohnya… orangnya kecil-kecil… kayak kutu gitu deh… Elina, si kutu cantik. “Oh iya, Ga… Elina ada…???” Tanyaku dengan raut wajah yang agak dipaksakan untuk tetap terlihat biasa.

“Wah, dia belum balik, Den. Kerja.”

“Ow yach… kerja dimana dia sekarang… Udah lama…???” Tanyaku antusias. Sedikit kaget. Karena, meskipun lama tidak bertemu dengan Elina, pernah suatu saat Nabila memberitahu kalau Elina sedang tidak bekerja.

“Lumayan… biasalah, kerjanya nggak jauh-jauh. Department store. Di tempat makanan kalo ngga salah, Den.”

“Mmmmhhh… Ok deh kalo gitu. Boleh gue minta nomer handphonenya…???”

“Ada koq, bentar yaaa… Hp gue ada didalam. Gue ambil dulu sebentar.” Erlangga segera bangkit dari duduk setelah aku mengiyakan ucapannya dan masuk ke dalam rumah dengan agak cepat.

Selang beberapa menit kemudian, Erlangga kembali muncul mendekatiku yang sedang iseng memainkan telepon genggam yang aku keluarkan dari saku celana jeans yang baru aku beli beberapa hari yang lalu. Sudah tak sabar aku untuk mendapatkan nomer handphone Elina.

“Ini dia nomernya, Den. Catat yach.” Ucap Erlangga cepat setelah berhasil menemukan nomer Elina di memory handphone Nokia 6600 nya. Aku yang sudah siap dengan handphoneku segera mengetik keypad telepon selularnya ketika Erlangga menyebutkan sederetan angka-angka yang dimintanya tadi.

Yach…. Angka-angka itulah yang aku yakini dapat merubah segalanya. Segala kepenatan selama ini. Keretakan hubunganku dengan Meyfa yang rasanya sudah diambang kehancuran. Elina, tunggu aku disana. Ketahuilah olehmu. Dihatiku ada sebuah samudera dan bahtera. Disanalah aku berdiri menunggu seorang putri turun dari lembayung senja dan mengayuh bahtera cinta di samudera kehidupan. Yaaa… dalam kehidupan kita. Hidup kau dan aku. Dendi dan Elina.

o0O0o

(Kutipan cerita mendatang)

o0O0o

Ruang rawat inap ini begitu lengang. Hanya beberapa waktu saja para suster memeriksa keadaan disini. Aku merasa sangat kesepian. Kesepian sekali. Sementara hawa dingin ruangan ini memaksa masuk kedalam pori-poriku hingga menerobos ke lapisan kulit jangatku. Ukkhhh… dingin sekali. Rasanya menggerakkan jari-jemari saja aku tidak sanggup.

Dalam keadaan seperti ini aku hanya dapat mengutuk diriku sendiri. Aku tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolong Elina. Dia kini sudah tiada. Mati. Elina sudah pergi meninggalkan alam fana ini. Meninggalkan aku sendirian disini. Meninggalkan sisa-sisa kekagumanku padanya. Rasa cintaku. Kini tiada lagi tempat untuk aku mencurahkan kasih dan sayang. Elina. Mengapa ini semua terjadi…??? Bukan akhir cerita seperti ini yang aku inginkan. Aku masih ingin merasakan terangnya sinarmu yang mampu memusnahkan kegelapan hatiku. Aku masih ingin terus merasakan belaian hangat dari cintamu yang senantiasa menyejukkan gelora didalam hati ini.

Aroma air conditioner masih memenuhi ruangan. Entah sudah berapa lama aku terbaring tak berdaya disini…??? Kenapa…??? Kenapa aku tidak mati saja sekalian agar aku dapat kembali bertemu dengan Elina…???

Sering aku mendengar istilah koma. Tapi baru ini kali kurasakan betapa tersiksanya merasakan koma. Hidup tidak matipun tidak. Berkali-kali kupandangi mereka yang datang kepadaku. Namun tidak ada yang dapat kulakukan. Oooohhh… ayah, ibu, saudara-saudaraku dan juga sahabatku. Mereka selalu bergantian datang ke kamar ini. Mereka menangis mendoakan agar aku segera sembuh. Mereka sungguh peduli padaku. Tapi apa yang bisa aku lakukan untuk mereka…??? Tidak ada. Yang dapat kulakukan hanyalah mengawasi mereka dari sini. Dari tempatku berpijak walaupun sebenarnya aku meragukan apakah aku masih berpijak atau tidak…???

o0O0o

(Bersambung)

Insya Allah

No comments: