Monday, October 09, 2006

Cerbungku "Bagian-2"

ADA SEBUAH PURI DALAM HATIKU

( Bagian kedua)

Dibuat oleh : Rdayt

Kriiiiiiiiiiinggggggggg...Kriiiiiiiiiiinggggggggg ...

Masih pagi. Tapi telepon dirumahku berdering. Malas sekali rasanya untuk bangkit dari tempat tidur. Aku masih ngantuk. Mataku masih belum mau dibuka. Tidak lama telepon berhenti berdering dan kudengar ibu menyapa si penelpon diseberang.

“Dendi..ada telepon tuh dari nisa.” Ibu memberitahuku. Aaahhh tidak,ternyata telepon buatku. “Ngapain juga sih Nisa nelpon pagi-pagi gini?” keluhku dalam hati. Agak kesal juga karena adik sepupuku itu sudah mengganggu tidurku. Akhirnya berat hati aku keluar kamar dengan nyawa masih melayang-layang untuk menerima telepon dari sepupuku itu.

“Ya, ada apa nis.???” Tanyaku dengan malas-malasan.

“Bang Dendi, ntar malam datang ke rumah yach. Mau ada acara nich disini. Jangan lupa pokoknya harus datang.”

“Acara apaan sich nis..?

“Iih bang dendi.hari ini khan nisa ulang tahun. Masa lupa sih.???”

“Ulang tahun.???” Buru-buru aku coba mengingat-ingat tanggal berapa sekarang. Dan ternyata benar, sekarang tanggal tujuh April. Dan berarti hari ini adik sepupuku itu genap berusia 18 tahun. Aku jadi teringat kalau di tahun ini umurku menginjak 20 tahun, tapi belum pernah sekalipun ulang tahunku dirayakan seperti itu. Biarlah.

“Oh iya, maaf bang dendi lupa. Selamat ulang tahun yach. Bang Dendi do’a in semoga Nisa tumbuh jadi gadis manis yang tanpa jerawat. Hehehe.” Candaku.

“Makasih. Tapi jangan lupa nanti malam datang yach. Soalnya temen-temen cewek Nisa pada datang juga. Cantik-cantik deh pokoknya.”

“Wah.jadi ga sabar nih untuk dateng ke rumah. Berarti bang dendi nggak perlu bawa pacar bang Dendi dong.”

“Yach itu sih terserah bang Dendi aja.”

“Ya ok deh. Nanti malam bang Dendi pasti datang.”

“Makasih. Udah dulu ya bang Dendi. Assalamu alaikum.

“Wa alaikum salam.” Kuletakkan kembali gagang telepon keposisinya semula lalu langsung menuju ke kamar mandi. Bersih-bersih.

o0O0o

Malam itu sangat ceria dirumah Nisa. Aahh sepupuku itu memang makin cantik aja. Kadang jadi ingin malu kalau ingat aku pernah naksir dengannya karena saat itu aku tidak tau kalau dia itu adalah sepupuku sendiri. Hahaha.

“Hei, mana teman-teman Nisa? Katanya pada mau datang? Tanyaku agak tidak sabar. “Sabar kenapa sih. Tenang aja pasti datang koq. Ada satu teman Nisa yang cantik banget deh. Namanya Elina. Dia itu seumuran Nisa. Orangnya imut banget, soalnya badannya kecil. Kaya kutu gitu deh. Kutu cantik. Pasti bang Dendi naksir ama dia kalo ketemu.” Aku hanya tersenyum mendengar penuturannya.

“Ceritanya lagi promosi nih? Terus kalo ternyata bang Dendi beneran naksir, gimana dong ama cewe bang Dendi?”

“Yeeee..lagian siapa yang serius nawarin bang Dendi. Ge er tau nggak? Oh iya ada temen sekolah Nisa yang yang naksir sama Elina. Tapi kayaknya Elina ga terlalu suka tuh ama dia.”

“Oh ya, kalau begitu kesian banget dong si.siapa namanya?” “Made.” Jawab Nisa cepat.

“Iya, kesian banget si Made. Karena kayaknya bakal ada yang bersedih hati karena di tolak nich.” Tawa kami berdua pun terlepas.

Tidak berapa lama berdatangan beberapa anak gadis seumuran Nisa. Cantik-cantik. Tapi tidak ada gadis seperti yang diceritakan Nisa. Elina. Penasaran juga. Kayak apa sih anaknya. Apa dia memang benar-benar seistimewa itu? Hei, kenapa aku jadi terpikir Elina. Emangnya siapa dia? Liat aja belum pernah. Aku sibuk memperhatikan teman-teman Nisa yang dengan berisik mengucapkan selamat ulang tahun dan cium pipi kiri cium pipi kanan. Aaah.lucu keliatannya. Tapi hatiku masih terusik sebuah nama. Elina.

“Bang Dendi.apa kabar..???? Udah lama datengnya.??? Duuuh, koq sendirian aja sih?” Nanda tiba-tiba menghampiriku dan dengan manjanya langsung merangkul lenganku. Dasar anak SMP. Gerutuku dalam hati. Dia adalah adik kedua Nisa.

“Dari mana aja sih? Tau nggak bang Dendi itu kesini udah dari sore. Masih kecil main melulu sih. Kalo nanti diculik gimana hayooo..???” Ledekku. Langsung aja cubitan bertubi-tubi menyerang pahaku hingga aku menjerit kesakitan sedangkan nanda malah tertawa terpingkal-pingkal melihat aku merintih kesakitan.

Ketika aku menoleh keluar tanpa sengaja mataku menangkap sosok yang begitu manis. Dunia pun seolah berhenti berputar. Waktu terasa diam. Hening sekali. Sorot matanya begitu teduh. Dia seperti bintang di kegelapan malam. Bersinar tapi tidak menyilaukan. Rambutnya yang tergerai laksana buratan cahaya rembulan yang menerangi indahnya malam. Tak henti-hentinya ia tersenyum kepada orang-orang disekelilingnya. Sungguh sosok itu adalah seorang putri yang hanya ada dalam mimpi.

“Elina.” Tiba-tiba aku bergumam. “Ya, dia pasti Elina.” Langsung aku menghampirinya dan langsung menyapa. “Elina yach.???” tanyaku.

“Iya, ini bang Dendi yach?” Dia bertanya balik. “Lho koq udah tau, tau dari siapa?” Aku pura-pura bingung padahal sudah tau jawabannya. Pasti Nisa juga udah cerita tentang aku ke Elina sebagaimana dia menceritakan Elina padaku tadi. Reseh banget sih Nisa. Tapi karena kebingungan itu justru membuat kami menjadi akrab. Ternyata Elina itu sangat supel dan enak diajak ngobrol. Baru pertama kenal sudah berani-beraninya dia nge-ceng in aku dengan ceng an yang lumayan sadis. Akupun tidak mau kalah begitu aja menerima ceng annya. Segera ku balas dengan ceng an yang lebih dahsyat. Dari situ aku merasa kami jadi semakin akrab. Kami ngobrol sepanjang malam tentang berbagai topik dari mulai sekolah, rumah, teman bahkan cinta. Damai sekali rasanya. Sungguh malam ini tidak akan pernah aku lupakan. Elina. Sungguh engkau seorang putri yang turun dari nirwana untuk menentramkan jiwa-jiwa kaum adam yang rapuh. Mulia sekali. Rasanya aku jatuh cinta padamu.

Uppsss..apa tadi kubilang? Jatuh cinta? Tidak. Perasaanku biasa-biasa aja koq. Tidak ada yang istimewa. Lagipula bukankah aku sudah punya Marieta, gadis yang sudah aku pacari selama beberapa bulan ini. Kucoba untuk membuyarkan anganku tapi entah kenapa otakku terus terusik oleh sebuah nama. Elina. Malam kian larut. Aroma malam sudah semakin menyengat sumsum di semua sendi. Tapi rembulan masih tersenyum dari balik awan dengan sangat menawan. Oh.sungguh indah malam ini.

“Udah malam malam nich, Nis. Gue pulang dulu yach.” Tiba-tiba Elina memotong obrolan kami yang sedang asik-asiknya.

“Iya deh. Kita bareng-bareng antar Elina ke rumahnya yuk.”

“Emangnya rumah Elina dimana sih.? Jauh nggak dari sini?” Tanyaku pada Nisa. Aduuuhhhh…rasanya berat sekali harus menyudahi kegembiraan ini. Kegembiraan yang di pancarkan oleh seorang putri yang sangat indah. Melebihi indahnya rembulan dikejauhan. Elina memang seperti bintang. Bersinar tapi tidak menyilaukan. “Deket koq. Tuh disitu tuh, dibalik belokan sana.” Nisa menjelaskan sambil menunjuk belokan diujung jalan yang agak gelap. Segelap pikiranku, karena harus berpisah dengan Elina.

“Sampai nanti yach. Oh iya jangan lupa banyak makan biar cepet gede.nanti kalo udah gede khan boleh pacaran. Kalo masih kecil udah pacaran, pamali kata orang tua bilang.” Candaku ketika sampai di dekat rumah Elina. “Awas lo, gue gibeng mental ke langit tingkat tujuh lo.” Balasnya sambil menirukan gaya orang sedang memukul layaknya Mike Tyson yang sedang menghabisi lawan-lawannya diatas ring. Nisa yang juga mengantar cuma tersenyum geli melihat tingkah kami yang sangat kekanak-kanakan. Kami akhirnya berpisah sejak saat itu. Perpisahan yang menyakitkan. Namun itu harus terjadi. Biarlah malam ini menjadi kenangan terindah yang pernah ada dalam hidupku. Aaahhh.Elina sungguh begitu berat untuk kehilanganmu.

o0O0o

“Hei koq ngelamun…??? Lagi mikirin apa nich…??? Ayo, ceritain ke aku. Mungkin aku bisa bantu nanti.” Pertanyaan Marieta yang tiba-tiba membuyarkan semua lamunanku. Ya Tuhan, apa yang sedang terjadi padaku? Mengapa aku selalu teringat dengan nama itu. Elina. Sungguh perasaan ini begitu menyesakkan dada. Aku coba tersenyum.

“Nggak ada apa-apa koq. Aku cuma sedikit terpikir dengan tugas-tugas kuliah. Banyak banget makalah ini itu yang harus aku selesaikan. Makasih yach udah perhatian ke aku. Tau nggak kamu itu baiiikkkk banget. Rasanya hidup ini terasa hampa bila kamu nggak ada.” Kuraih tangan Marieta kemudian kukecup dengan lembut. Marieta hanya tersenyum. Rona merah dipipinya terlihat jelas sekali. Ah dia masih saja malu bila kupuji seperti itu.

“Kamu emang paling bisa deh kalo ngerayu cewek. Gombal tau… Tapi aku senang banget kalo kamu berkata kayak gitu. Kayaknya dunia jadi indaaah banget” Marieta menyandarkan kepalanya didadaku.

“Ibu kamu kapan nih pulangnya? Bete banget di rumah aja. Kita keluar yuk.”

“Mau kemana?”

“Ke rumah sepupuku aja deh. Anaknya asik koq. Namanya Nisa.”

“Terserah kamu aja deh.”

“Terus yang jaga rumah kamu siapa?”

“Yaaa.. ngga ada sih. Tapi aku yakin aman koq. Lagipula tinggal nitip sama tetangga, beres khan?”

“It’s ok. Kalo gitu ayo kita berangkat.”

Tak lama kemudian aku dan Marieta bergegas menuju rumah Nisa. Tapi ada satu pikiran yang masih mengganjal di otakku. Ada apa sih? Kenapa aku selalu teringat dia. Wajahnya yang selalu ceria. Tatap matanya yang begitu teduh. Tawanya yang begitu menggoda. Ooohhh… aku merasa dahaga. Aku membutuhkan segelas air kebahagiaan untuk membasahi kerongkonganku yang kering karena tersengat sinar matahari yang panas dan menusuk hati. Dan aku yakin yang memiliki bejana air itu adalah Elina. Ya hanya dia. Sungguh kau adalah putri yang diciptakan untuk membasahi jiwa-jiwa yang kering dan hampir mati. Dan aku sudah semaput disini. Ragaku lemah. Batinku goyah. Aku begitu gamang. Putri, dimanakah engkau kini? Sanggupkah kedua tangan lemahku ini merengkuh dirimu. Aku membutuhkanmu. Hei, ada yang terlupa. Bagaimana dengan Marieta?

Saat ini ia sedang duduk disampingku sambil mengipas-ngipasi wajahnya yang kepanasan. Memang panas sekali kalo berada di dalam ungkutan umum siang hari. Ah Marieta, maafkan aku karena perasaanku sudah terbagi pada wanita lain. Aku tidak bisa memendam perasaan ini. Sekali lagi maafkan aku. Entah kenapa aku mulai berpikir untuk mengakhiri hubungan kita?

o0O0o

“Ma, nanda kemana? Koq dari tadi nggak keliatan sih. Main melulu dia.Ga tau apa kalo rumah lagi berantakan?”

“Ga tau tuh adik kamu, kerjaannya main melulu. Bukannya beres-beres rumah. Cepet beresin yang masih berantakan, Nis. Kayaknya mau ada yang dateng nih.”

“Oh ya…??? Kira-kira siapa yach… Apa Benny yang mau dateng, soalnya khan di ulang tahun Nisa kemarin dia nggak dateng…???”

Tak berapa lama aku sampai dirumah Nisa.

“Hei, Nis ada Dendi tuh dateng ama pacarnya. Kirain siapa tamunya?”

“Assalamu alaikum. Ada siapa aja dirumah, Bi?” Kataku seraya mencium tangan bibiku.

“Ada Nisa tuh didalam. Tadi sih lagi beres-beres rumah. Ngomong-ngomong ini siapa?”

“Oh iya,kenalin Bi, ini Marieta. Hampir lupa” Cepat-cepat aku mengenalkan Marieta pada bibiku. “Ya udah masuk kedalam sana.”

“Makasih Bi. Ayo masuk, Ta.”

“Eh bang Dendi. Mau dateng koq ga bilang-bilang dulu sih. Nisa kirain yang mau dateng Benny. Eh, ini pacarnya bang Dendi yach. Tunggu yach Nisa ambilin minum dulu.” Nisa keluar dari kamar dan langsung menyapa kami.

“Ga usah repot-repot, Nis. Yang ada aja keluarin semua.” Nisa melenggang ke dapur sambil mencibir. "Huuu..."

“Nisa cantik yach.” Marieta berkata padaku. Aku tersenyum.

“Ya jelas lah. Liat aja abangnya. Keren khan.”

“Ge er.” Lagi-lagi aku harus merelakan pinggangku dicubit. Bukannya sakit, tapi malah geli.

“Udah ah, geli tau nggak sich. Aku tuh orangnya ga tahan geli.”

“Yeee…ceritanya marah nich?”

“Wah yang lagi asik pacaran….” Tak lama Nisa datang sambil membawa 2 gelas sirup untuk kami dan menaruhnya diatas meja.

“Makasih ya, Nis? Oh iya, ngomong-ngomong gimana khabar Elina sama Made? Gimana kelanjutan ceritanya?” Tanyaku sedikit antusias.

“Mereka dah jadian tuh. Ternyata kita salah tebak.” Terang Nisa sedikit menyesal.

Sepertinya dia juga agak tidak enak memberitahu ini padaku. Ya Tuhan. Ternyata memang benar. Kaget sekali aku mendengarnya. Hampir tidak percaya rasanya mendengar ini semua. Yang kurasakan saat ini seolah-olah seluruh tulang-tulangku luluh lantak menjadi kepingan-kepingan kecil yang dengan mudah diterbangkan oleh angin hingga kini perasaanku jadi tercerai berai. Sakiiiiit sekali. Oh putri, mengapa begitu teganya kau meninggalkan aku sendiri disini. Dijalan yang gelap ini. Taukah kau kalau aku sudah menyiapkan sebuah bahtera cinta untuk kita naiki berdua. Kita bisa melanglang buana mengarungi samudera cinta dengan kayuh asmara. Tapi kini bahtera itu sudah tidak lagi bernilai karena kau sudah pergi meninggalkan aku disini. Aku hancur. Aku bagai kaca yang pecah diterjang bebatuan yang dilemparkan jagat raya. Oh… dunia terasa hitam. Gelap. Dan semuanya makin tidak jelas terlihat.

“Den, kamu kenapa…??? Koq ngelamun sich.” Teguran Marieta membuyarkan lamunanku. Lamunan tentang seorang putri yang begitu melekat dalam rasa.

“Aku gapapa koq. Oh iya… wah gila juga tuh si Elina. Koq bisa yach dia jadian sama Made?”

“Bang Dendi cemburu yach?” Nisa coba meledekku.

“Apaan sich. Cemburu? Yang bener aja. Masak seorang Dendi bisa naksir sama anak kecil macam Elina sich. Ga level layaw.”


(Bersambung)

Insya Allah

No comments: